Minggu, 16 Desember 2012

PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap



PPh Pasal 21 Pegawai Tidak Tetap

Berikut ini akan dibahas mengenai tata cara, tarif dan contoh penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2009.

Ø Dasar hukum
Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36 tahun 2009
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-254/PMK. 03/2008 tentang Penetapan Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan Pegawai Harian Dan Mingguan Serta Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan

Ø Pengertian Pegawai Tidak Tetap
Pegawai tidak tetap/tenaga kerja lepas adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan apabila pegawai yang bersangkutan bekerja, berdasarkan jumlah hari bekerja, jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan atau penyelesaian suatu jenis pekerjaan yang diminta oleh pemberi kerja.

Ø Jenis Penghasilan Pegawai Tidak Tetap
Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan;

1.      Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian.
2.      Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan.
3.      Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.
4.      Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.

Ø Dasar Pengenaan dan Pemotongan PPh Pasal 21
Dasar pengenaan dan pemotongan PPh Pasal 21 pegawai tidak tetap adalah Penghasilan Kena Pajak yang penghasilannya di bayar secara bulanan atau jumlah kumulatif penghasilan yang diterima selama 1 (satu) bulan kalender telah melebihi jumlah PTKP sebulan untuk wajib pajak sendiri.
    Jumlah penghasilan yang melebihi bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan ( Rp 150.000,00   sehari), sepanjang penghasilan kumulatif yang diterima dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi jumlah PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri.

Ø Penghasilan Kena Pajak
Penghasilan Kena Pajak bagi pegawai tidak tetap adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP.
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
PTKP sebulan adalah PTKP dibagi 12 (dua belas).

Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak adalah bagi:

    Wajib Pajak :  Rp 15.840.000,- setahun
    Tambahan status kawin :  Rp 1.320.000,-
    Istri Bekerja : Rp 15.840.000,-
    Tambahan tanggungan       : Rp 1.320.000,- (Maksimal 3)

Ø Bagian Penghasilan yang Tidak dikenakan Pemotongan PPh Pasal 21
Bagian Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan Pegawai Harian Dan Mingguan Serta              Pegawai Tidak Tetap Lainnya yang Tidak dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan:
    Batas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh   sampai dengan jumlah Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) sehari
    Ketentuan di atas tidak berlaku dalam hal penghasilan bruto jumlahnya  melebilhi Rp 1.320.000 (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah) sebulan dalam hal penghasilan dimaksud dibayar secara bulanan.
    Ketentuan di atas tidak berlaku atas penghasilan berupa honorarium atau komisi yang dibayarkan kepada penjaja barang dan petugas dinas luar asuransi.

Ø PPh Pasal 21 pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang tidak di bayar secara bulanan
Atas penghasilan bagi pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang tidak di bayar secara bulanan atau jumlah kumulatifnya dalam 1 (satu) bulan kalender belum melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri berlaku ketentuan sebagai berikut:

1.    Tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari belum melebihi Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah)  sehari;
2.    Dilakukan pemotongan PPh Pasal 21, dalam hal penghasilan sehari atau rata-rata penghasilan sehari melebihi Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah), dan bagian penghasilan yang tidak dilakukan pemotongan tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
3.    Rata-rata penghasilan sehari adalah rata-rata upah mingguan, upah satuan atau upah borongan untuk setiap hari kerja yang digunakan.
4.    Dalam hal pegawai tidak tetap telah memperoleh penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender yang melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri, maka jumlah yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto adalah sebesar PTKP yang sebenarnya.
5.    PTKP yang sebenarnya  adalah sebesar PTKP untuk jumlah hari kerja yang sebenarnya.
PTKP sehari sebagai dasar untuk menetapkan PTKP yang sebenarnya adalah sebesar PTKP dibagi 360 (tiga ratus enam puluh) hari.
6.    Dalam hal berdasarkan ketentuan di bidang ketenagakerjaan diatur kewajiban untuk mengikutsertakan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas dalam program jaminan hari tua atau tunjangan hari tua, maka iuran jaminan hari tua atau iuran tunjangan hari tua yang dibayar sendiri oleh pegawai tidak tetap kepada badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja atau badan penyelenggara tunjangan hari tua, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.




Ø Tarif PPh Pasal 21
  Tarif berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari Pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas yang dibayarkan secara bulanan
    Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan, tarif lapisan pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan (5%) diterapkan atas:
jumlah penghasilan bruto di atas bagian penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan ; atau
jumlah penghasilan bruto dikurangi PTKP yang sebenarnya dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam 1 (satu) bulan kalender telah melebihi PTKP sebulan untuk diri Wajib Pajak sendiri.
    Dalam hal jumlah penghasilan kumulatif dalam satu bulan kalender telah melebihi Rp 6.000.000,00 ( enam juta rupiah), PPh Pasal 21 dihitung dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan atas jumlah Penghasilan Kena Pajak yang disetahunkan.

Ø Tata Cara Penghitungan PPh Pasal 21
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan:
1.    Tentukan jumlah upah/uang saku harian, atau rata-rata/uang saku yang diterima atau diperoleh dalam sehari; – Upah/uang saku mingguan dibagi 6;
2.    Upah satuan dikalikan dengan jumlah rata-rata satuan yang dihasilkan dalam sehari;
Upah borongan dibagi dengan jumlah hari yang digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan borongan.
3.    Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian belum melebihi Rp. 150.000,00 dan jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan takwim yang bersangkutan belum melebihi Rp. 1.320.000, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang harus dipotong.
4.    Dalam hal upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian telah melebihi Rp. 150.000,00 dan sepanjang jumlah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan takwim yang bersangkutan belum melebihi Rp. 1.320.000, maka PPh Pasal 21 yang harus dipotong adalah sebesar upah/uang saku harian atau rata-rata upah/uang saku harian setelah dikurangi Rp. 150.000,00, dikalikan 5%.
5.    Dalam hal jumlah upah kumulatif yang diterima atau diperoleh dalam bulan takwim yang bersangkutan telah melebihi Rp. 1.320.000, maka PPh Pasal 21 yang terutang dihitung dengan mengurangkan PTKP yang sebenarnya, yaitu sebanding dengan banyaknya hari, dari jumlah upah bruto yang bersangkutan.

Contoh PPh Pasal 21 atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian, sepanjang penghasilan tidak dibayarkan secara bulanan

a.    DENGAN UPAH HARIAN
Contoh penghitungan :  Arifin dengan status belum menikah.pada bulan Januari 2009 bekerja sebagai buruh harian pada PT Jaya Makmur. Ia bekerja selama 10 hari dan menerima upah harian sebesar Rp 150.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 terutang :
Upah sehari                                                                                         Rp       150.000,00     
Dikurangi batas upah harian tidak dilakukan pemotongan PPh         Rp       150.000,00     
Penghasilan Kena Pajak Sehari                                                           Rp       0         
PPh Pasal 21 dipotong atas Upah Sehari :                                          Rp       0         
Sampai dengan hari ke-8, karena jumlah kumulatif upah yang diterima belum melebihi Rp 1.320.000,00, maka tidak ada PPh Pasal 21 yang dipotong.

Misalkan Arifin bekerja selama 9 hari, maka pada hari ke-9, setelah jumlah kumulatif upah yang diterima melebihi Rp 1.320.000,00, maka PPh Pasal 21 terutang dihitung berdasarkan upah setelah dikurangi PTKP yang sebenarnya.
Upah s.d. hari ke-9 (Rp 150.000,00 x 9)                                            Rp       1.350.000       
PTKP sebenarnya (Rp 15.840.000 x 9/360)                                       Rp       396.000          
Penghasilan Kena Pajak s.d. hari ke-9                                                Rp       954.000          
PPh Pasal 21 terutang s.d hari ke-9                Rp 954.000 x 5%        Rp       47.700            
PPh Pasal 21 yang telah dipotong s.d hari ke-8                                  Rp               
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-9                              Rp       47.700            
Sehingga pada hari ke-9, upah bersih yang diterima sebesar :           
Rp 150.000,00 – Rp 47.700 = Rp 102.300,00
           
Misalkan Arifin bekerja selama 10 hari, maka penghitungan PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-10 adalah sebagai berikut :
Upah s.d. hari ke-10                            (Rp 150.000,00 x 10)             Rp       1.500.000       
PTKP sebenarnya (Rp 15.840.000 x 10/360)                                     Rp       440.000          
Penghasilan Kena Pajak s.d. hari ke-10                                              Rp       1.060.000       
PPh Pasal 21 terutang s.d hari ke-10              Rp 1.060,00 x 5%       Rp       53.000,00       
PPh Pasal 21 telah dipotong s.d hari ke-9                                          Rp       47.700,00       
PPh Pasal 21 yang harus dipotong pada hari ke-10                            Rp       5.300,00         
Sehingga pada hari ke-10, Arifin menerima upah bersih sebesar :     
Rp 150.000,00 – Rp 5.300,00 = Rp 144.700,00
           
b.    DENGAN UPAH SATUAN
Contoh penghitungan :Tono adalah seorang karyawan yang bekerja sebagai perakit TV pada suatu perusahaan elektronika, dia tidak menikah.Upah yang dibayar berdasarkan atas jumlah unit/satuan yang diselesaikan yaitu Rp 25.000,00 per buah TV dan dibayarkan tiap minggu.Dalam waktu 1 minggu (6 hari kerja) dihasilkan sebanyak 30 buah TV dengan upah Rp 960.000,00.
Penghitungan PPh Pasal 21 :
Upah sehari adalah                              Rp 960.000,00 : 6       Rp 160.000                
Upah diatas                                                                             Rp 150.000 sehari                  
Rp 160.000,00 – Rp 150.000,00         Rp   10.000                
Upah seminggu terutang pajak           6 x Rp 10.000,00        Rp   60.000                            
PPh Pasal 21      5% : Rp 60.000,00 = Rp 3.000,00 (Mingguan)      
           
c.    DENGAN UPAH BORONGAN
Contoh Penghitungan : Bayu mengerjakan dekorasi sebuah rumah dengan upah borongan sebesar Rp 400.000,00, pekerjaan diselesaikan dalam 2 hari.
Upah borongan sehari :                       Rp 400.000,00 : 2 =   Rp 200.000    
Upah harian diatas                                                                  Rp 150.000                            
Rp 200.000,00 – Rp 150.000,00         Rp   50.000    
Upah borongan pajak                          2 x Rp 50.000,00        Rp 100.000                                        
PPh Pasal 21                           5% x Rp 100.000,00 =            Rp     5.000    

Pengertian PPh Pasal 25

Pajak Penghasilan (disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu periode tertentu yang dinamakan tahun pajak.Berdasarkan hal ini, maka perhitungan dan penghitungan PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan.Nah, karena penghitungan PPh dilakukan setahun sekali, maka penghitungan ini harus dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir agar semua data penghasilan dalam satu tahun sudah diketahui.Untuk perusahaan, tentu saja data penghasilan ini harus menunggu laporan keuangan selesai dibuat.

Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru dapat diketahui ketika suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak tidak dilakukan sekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah mekanisme pembayaran pajak di muka atau pembayaran cicilan setiap bulan. Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.

Cara Mengitung PPh Pasal 25
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun sebelumnya. Artinya, kita mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan penghasilan tahun sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir.  Selisih tersebutlah yang kita bayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan bayar akhir tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan.

Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikuranggi dengan kredit pajak Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Misal, SPT Tahunan 2007 menunjukkan data sebagai berikut :

Pajak Penghasilan terutang                                           50.000.000
Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24                      35.000.000
Maka, PPh Pasal 25 tahun 2008 yang harus dibayar tiap bulan adalah sebagai berikut :
Pajak Penghasilan terutang                                           50.000.000
Kredit Pajak PPh Pasal 21,22,23 dan 24                      35.000.000
Selisih                                                                            15.000.000
PPh Pasal 25 = 15.000.000 : 12 =                                 1.250.000
PPh Pasal 25 Untuk Bulan-bulan Sebelum Bulan Batas Waktu Penyampaian SPT

Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah sama besarnya dengan Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak yang lalu. Apabila tahun pajaknya adalah tahun kalender (Januari-Desember), maka yang dimaksud dengan bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah bulan Januari dan Pebruari. Dengan demikian PPh Pasal 25 bulan Januari dan Pebruari 2008 adalah sama dengan PPh Pasal 25 bulan Desember 2007.
PPh Pasal 25 Jika Dalam Tahun Berjalan Telah Diterbitkan SKP Untuk Tahun Pajak Yang Lalu
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk tahun pajak yang bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP
PPh Pasal 25 Dalam Hal-hal Tertentu

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, antara lain apabila :

1.    Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
2.    Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur
 ST tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
3.     Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan;
4.    Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan.

Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

Keputusan Dirjen Pajak yang mengatur penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan dalam hal-hal tertentu adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak   Nomor Kep-537/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.
PPh Pasal 25 Untuk Wajib Pajak Tertentu

Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, BUMN, BUMD, dan Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Keputusan Menteri Keuangan Yang Mengatur Hal Ini Adalah Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 522/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 Jo Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.03/2002 tanggal 8 Maret 2002 Tentang  Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah Dan Wajib Pajak Lainnya Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 522/KMK.04/2000 sudah tidak berlaku lagi.Ketentuan yang berlaku saat ini adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255.PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.03/2009.

Tarif Pajak PPh Pasal 25/29 untuk Wajib Pajak Badan Untuk Tahun Pajak 2011 adalah sebagai berikut :

a.       Berdasarkan pasal 17 Undang-undang  No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan  :
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 25 % (dua puluh delapan persen) dikalikan Penghasilan Kena Pajak.
b.      Berdasarkan pasal 31 E Undang-undang  No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan  :
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

c.    Untuk keperluan penerapan tarif pajak  jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke         bawah dalam ribuan rupiah penuh.

Penerapan Tarif PPh Badan Tahun 2011 dalam perhitungan PPh Terutang :
a.     Untuk Peredaran Usaha Bruto Sampai dengan Rp.4.800.000.000,-  tarif PPh Badan dikenakan sebesar  25 % x 50 % x Penghasilan Kena Pajak
Contoh perhitungan Lihat :
Contoh Perhitungan PPh Badan Tahun 2011 Untuk Peredaran Usaha Bruto sampai dengan Rp.4.800.000.000,-

b.        Untuk Peredaran Usaha diatas Rp.4.800.000.000,- Sampai dengan Rp.50.000.000.000,-  tarif PPh Badan dikenakan sebesar :

1.    Bagian Peredaran Usaha Bruto sampai dengan Rp.4.800.000.000,- :
 25 % x 50 % x Penghasilan Kena Pajak (bagian Peredaran Usaha Bruto Rp.4.800.000.000,-)
2.    Bagian Peredaran Usaha Bruto diatas Rp.4.800.000.000,- Sampai dengan Rp.50.000.000.000,-
25 % x Penghasilan Kena Pajak (bagian Peredaran Usaha Bruto diatas Rp.4.800.000.000,- Sampai dengan Rp.50.000.000.000,

Contoh perhitungan Lihat :
Contoh Perhitungan PPh Badan Tahun 2011 Untuk diatas Rp.4.800.000.000,- Sampai dengan Rp.50.000.000.000,-

c.     Untuk Peredaran Usaha Bruto diatas Rp.50.000.000.000,-  tarif PPh Badan dikenakan sebesar  :
 25 % x  Penghasilan Kena Pajak

Contoh perhitungan Lihat :
Contoh Perhitungan PPh Badan Tahun 2011 Untuk Peredaran Usaha Bruto diatas Rp.50.000.000.000,-

Jumat, 14 Desember 2012

Pengertian PPh

UNDIP 2012
PAJAK PENGHASILAN DALAM SEBUAH
KEBIJAKSANAAN

  • ABSTRAK
    Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan, yang
terutang menurut peraturan perundang-undangan, tanpa mendapatkan
prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk. Pajak digunakan untuk
membiayai pengeluaran umum sehubungan dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan. Pemungutan pajak harus sesuai dengan
prinsip keadilan. Sistem perpajakan Indonesia menganut prinsip keadilan
horizontal dan keadilan vertikal. Ada kebijaksanaan-kebijaksanaan
penting yang terkait dengan sistem perpajakan Indonesia. Kebijaksanaan
tersebut adalah : jenis pajak yang akan dipungut, siapa yang menjadi
subyek pajak, apa saja yang menjadi obyek pajak, tarif Pajak Penghasilan
dan prosedur pajak.
   Kata kunci: pajak, prinsip kemampuan untuk membayar, benefit
principle, keadilan horizontal, keadilan vertikal, obyek
pajak, subyek pajak, tarif Pajak Penghasilan.

1. PENDAHULUAN
    Pajak adalah iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang menurut
peraturan perundang-undangan tanpa mendapatkan prestasi kembali yang langsung
dapat ditunjuk yang digunakan untuk membiayai pengeluaran umum sehubungan
dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan. Melihat definisi pajak
secara lengkap ini, bisa membuat pembayar pajak berpikir kembali untuk
mengeluarkan uangnya, khususnya jika tidak ada kata-kata …….”terutang menurut
undang-undang.” Mengapa demikian, jika kita berpikir lebih lanjut, definisi pajak di
atas jelas berseberangan dengan satu prinsip ekonomi ekonomi, yaitu bagaimana
pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan manfaat sebesar-besarnya. Ada
kontradiksi, satu sisi uang dikeluarkan untuk membayar pajak yang kontra
prestasinya atau manfaatnya tidak jelas yang bisa kita lihat dari penggunaan fasilitasfasilitas
umum, dimana di Indonesia fasilitas umum hampir tidak ada yang gratis.
Buang air kecil dikenai tarif Rp 500,- lebih besar pembuangan, lebih besar juga
tarifnya, padahal jika ditelusuri sejarahnya, pengadaan fasilitas umum itu
menggunakan dana hasil pembayaran pajak. Sisi yang lain adalah sudut pandang
prinsip ekonomi, jika perlu sama sekali tidak ada pengorbanan tetapi justru
mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya. Ada suatu perbandingan yang
porposional antara apa yang dikorbankan dengan manfaat yang diterima, meskipun
ada upaya untuk memaksimalkan manfaat yang diterima. Terdengar cukup ekstrim,
tetapi pandangan seperti ini tidak bisa dipungkiri memang ada dalam pemikiran para
wajib pajak. Hal ini biasa dibuktikan dengan adanya upaya dari Wajib Pajak untuk
melakukan usaha menghindarkan diri dari pembayaran pajak, baik secara legal
maupun secara illegal. Tindakan seperti ini dikenal dengan istilah tax avoidance untuk
legal action dan tax evasion untuk illegal action.
Terlepas dari semuanya, tulisan ini lebih lanjut akan memberikan informasi secara
umum tentang kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berkaitan dengan pajak khususnya
Pajak Penghasilan. Harapan yang diinginkan adalah terbukanya suatu pandangan
positif bahwa pajak bukan hanya suatu pengorbanan yang tidak bermanfaat melainkan
sebaliknya
.
2. PEMBAHASAN
2.1 Prinsip Keadilan dalam Perpajakan
      Keadilan merupakan kata kunci dalam upaya pemerintah untuk memungut dana
dari masyarakat (transfer of resources). Ada dua macam asas keadilan dalam
pemungutan pajak yang sangat terkenal yaitu: Benefit Principle Approach dan Ability
to Pay Principle Approach. Dikatakan pemungutan pajak itu adil menurut pendekatan
benefit principle adalah dalam suatu sistem perpajakan yang adil, maka setiap Wajib
Pajak harus membayar pajak sejalan dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatan
pemerintah. Untuk memungkinkan pembebanan pajak melalui pendekatan ini, perlu
diketahui terlebih dahulu besarnya manfaat yang dinikmati Wajib Pajak yang
bersangkutan dari kegiatan pemerintah yang memerlukan pengeluaran yang dibiayai
dari penerimaan pajak tersebut. Indonesia jelas tidak mungkin menganut pendekatan
benefit principle ini, karena diyakini pemerintah akan kesulitan dalam menentukan
kontra prestasi yang harus diberikan kepada masing-masing pembayar pajak (expenditure) yang harus proporsional dengan manfaat yang diterima pemerintah
(revenue). Pungutan dalam bentuk retribusi adalah dana yang dipungut dengan
melalui pendekatan benefit principle ini. Sebagai contoh, setiap pemerintah
menyediakan fasilitas jalan bebas hambatan, untuk penggunaan fasilitas ini, pemakai
jalan bebas hambatan, diwajibkan untuk membayar biaya dengan tarif tertentu
tergantung klasifikasi kendaraan yang dipakai. Jelas bahwa pemakai jalan bebas
hambatan mengorbankan sejumlah pengeluaran untuk manfaat sepadan-menggunakan
jalan bebas hambatan yang langsung disediakan oleh pemerintah. Benefit principle
pada dasarnya hanya mungkin diterapkan atas kegiatan pemerintah dibidang public
utilities. Oleh karena itu diperlukan prinsip pendekatan keadilan yang lain dalam hal
pemungutan pajak.
Prinsip pemungutan pajak yang lain adalah the ability-to-pay principle. Prinsip ini
terlihat lebih relevan untuk menjadi latar belakang sistem pemungutan pajak di
Indonesia, karena prinsip ini menyarankan agar pajak itu dibebankan pada para
pembayar pajak berdasarkan kemampuan untuk membayar masing-masing. Secara
lengkap definisi dari ability-to-pay principle adalah the capacity of paying without
undueharship on the part of the person paying or an unacceptable degree of
interference socially important by other members of the community. (Goode 1964:18).
Penerapan prinsip ability to- pay di Indonesia terkait dengan penggunaan tarif
progresif dalam menentukan Pajak Penghasilan terutang. Tarif progresif ini diatur
dalam pasal 17 Undang-Undang. No. 17 Tahun 2000. Pertanyaan yang selanjutnya
timbul adalah apa keterkaitan antara tarif progresif dan prinsip ability-to- pay.
 Contoh
berikut ini akan mempejelas hubungan antara keduanya. Budi dan Bobi, masingmasing
mempunyai penghasilan kena pajak dalam setahun sebesar masing-masing Rp
20 juta dan Rp 30 juta. Dengan menggunakan tarif progresif dan mengabaikan faktor
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) jumlah Pajak Penghasilan terutang untuk
Amir dan Amat adalah sebagai berikut:
                                                                   Budi                                                              Bobi
Penghasilan Kena Pajak                           Rp 20.000.000                                      Rp 30.000.000
Pajak Penghasilan terutang                               1.000.000                                              1.750.000
                                                         (20 juta x 5%-lapisan 1)                              (25 juta x 5%-lapisan 1)
                                                                                                                            (5 juta x 10%-lapisan 2)
Penghasilan Kena Pajak                           Rp 19.000.000                                        Rp 28.250.000

Dari contoh dia atas, terlihat bahwa siapa yang mempunyai penghasilan yang besar
berarti mempunyai kemampuan yang besar juga dalam urusan pembayaran pajak. Bobi yang mempunyai penghasilan lebih besar dibandingkan Budi, secara otomatis
akan membayar pajak dalam jumlah yang lebih besar dibanding pajak yang harus
dibayar oleh budi. Jadi bisa disimpulkan bahwa pembayar pajak yang menerima
tambahan kemampuan ekonomis lebih besar harus dikenakan Pajak Penghasilan
dengan tarif yang besar juga. Atau dengan kata lain the ability-to-pay principle
supports progressive taxation only if taxpaying capacity increases faster than income,
which is a stronger assertion than the general argument made above. (Goode 1964:18)
Prinsip keadilan dibidang perpajakan juga dibedakan antara keadilan vertikal dan
keadilan horizontal. Suatu pemungutan pajak dikatakan adil secara horizontal, apabila beban pajaknya adalah sama atas semua Wajib Pajak yang mendapatkan penghasilan
yang sama dengan jumlah tanggungan yang sama tanpa membedakan jenis
penghasilan atau sumber penghasilan atau biasa disebut equal treatment for the
equals. (R Mansury 1996:10). Sedangkan pemungutan pajak dikatakan adil secara
vertikal apabila orang-orang dengan tambahan kemampuan ekonomis yang berbeda
dikenakan Pajak Penghasilan yang berbeda setara dengan perbedaannya atau biasa
disebut dengan unequal treatment for the unequals (R Mansury 1996:10).

2.2 Pajak Apa yang Akan Dipungut ?
      Pada sistem undang-undang 1984, subyek pajak terbagi menjadi dua yaitu subyek
pajak perseorangan atau orang pribadi dan subyek pajak badan. Dengan demikian
pajak akan dipungut atas penghasilan orang pribadi dan penghasilan badan. Tetapi
pajak apa yang dipungut tergantung dari sistem pengenaan pajak yang dianut setiap
negara. Sistem pengenaan pajak ini nantinya bisa menimbulkan suatu pertentangan
apakah badan layak untuk menjadi subyek pajak.
Indonesia sejak Undang-Undang Pajak 1984 menganut classical system dalam
sistem pengenaan pajaknya, dimana orang pribadi dan perseroaan yang dimiliki orang
pribadi merupakan wajib pajak masing-masing yang terpisah satu sama lain, oleh
karena itu akan timbul overtaxation. Misalnya PT A menghasilkan laba sebelum pajak
Rp 300 juta. Jika tarif Pajak Penghasilan badan diasumsikan 30% maka, Pajak
Penghasilan terutang adalah Rp 90 juta. Laba setelah pajak dimaksudkan akan
dibagikan sebagai deviden bagi pemegang saham, asumsi tarif untuk pajak atas
deviden adalah 15%, berarti Pajak Penghasilan terutang atas deviden tersebut adalah
Rp 31,5 juta. Overtaxation terletak pada pengenaan pajak atas penghasilan badan dan
pengenaan pajak atas penghasilan deviden yang diterima oleh pemegang saham.
Undang-Undang Pajak pada tahun 1994 tidak lagi menganut classical system,
melainkan menganut the full-Integration system, dimana pajak sepenuhnya dikenakan
pada orang pribadi pemilik perseroaan tersebut. Pada sistem ini tidak akan terjadi
overtaxation karena ada mekanisme kredit pajak. Misalnya pada contoh di atas, pajak
atas perseroaan sebesar Rp 31,5 juta akan menjadi pengurang pada Pajak Penghasilan
terutang atas badan.
Menurut full integration system, badan sebenarnya tidak harus dikenakan pajak,
karena menurut sistem badan tidak punya perasaan sejahtera atau tidak sejahtera
(R Mansury 1996:40). Bisa diartikan bahwa meskipun badan berpenghasilan, tetapi
proses mendapatkan penghasilan tersebut merupakan hasil kerja keras pribadi-pribadi
yang bekerja dalam badan tersebut. Dan yang menikmati penghasilan itu sendiri
adalah orang-orang pribadi itu sendiri juga. Atas dasar pendapat inilah badan dianggap
tidak seharusnya menjadi subjek pajak. Sedangkan menurut classical system, pajak
harus dikenakan bukan hanya atas orang pribadi saja, malainkan juga atas badan
meskipun yang membuat badan itu berpenghasilan adalah orang pribadi. Sistem ini
pada dasarnya mendukung salah satu prinsip akuntansi yaitu entity principle atau
prinsip kesatuan usaha. Prinsip akuntansi menganggap bahwa adanya suatu
pemisahan kepemilikan antara pemilik perusahaan dan manajemen perusahaan itu
sendiri. Menurut teori ini, pemilik perusahaan dan perusahaan itu sendiri merupakan
suatu unit yang berdiri sendiri dalam artian saling terpisah. Terlepas dari
pertentangan bahwa apakah badan merupakan subyek pajak atau bukan, yang pasti
sistem perpajakan di Indonesia secara tegas mengatur bahwa badan merupakan salah
satu subyek pajak. Hal ini diatur pada pasal 2 ayat 1 huruf b, Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Ini berarti bahwa sistem perpajakan di
Indonesia menganut classical system. Tetapi pada akhirnya classical system ini sendiri
tidak lagi dianut karena keberadaan pasal 4 ayat 3 huruf f, Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan yang mengatur bahwa deviden atau bagian
laba yang yang diterima atau diperoleh perseroaan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam
negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari
penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat tertentu.

2.3 Siapa yang akan Dijadikan Subyek Pajak
      Berdasarkan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak
Penghasilan dinyatakan bahwa yang menjadi subyek pajak adalah :
a. 1) orang pribadi;
    2) warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, yang menggantikan yang
         berhak;
b. badan
c. bentuk usaha tetap
    Pada dasarnya semua penduduk Indonesia, merupakan subyek pajak, tanpa
memandang umur, jenis pekerjaan atau apakah mempunyai pekerjaan atau tidak
punya pekerjaan. Tuna wisma, tuna karya, anak sekolah semuanya adalah subyek
Pajak Penghasilan. Karena untuk menjadi subyek pajak tidak berkaitan dengan
kedudukan atau pekerjaan seseorang (R Mansury 1994:73).
   Sekarang yang menjadi persoalan adalah apakah mereka bisa dikategorikan sebagai
Wajib Pajak. Untuk menjadi Wajib Pajak ada dua syarat yang harus dipenuhi yaitu
syarat subyektif dan syarat obyektif. Syarat subyektif dipenuhi melalui pasal 1,
Undang-Undang No. 17 Tahun 2000, sedangkan syarat obyektif dipenuhi melalui pasal
4 ayat 1, Undang-Undang No. 17 Tahun 2000. atau dengan kata lain subyek pajak
akan menjadi obyek pajak apabila sudah mempunyai penghasilan.
Pada ayat 2 subyek pajak dibagi menjadi subyek pajak dalam negeri dan subyek
pajak luar negeri. Ayat 3 sendiri mengatur tentang syarat untuk dapat disebut sebagai
subyek pajak dalam negeri yaitu :
a. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia lebih
    dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau orang pribadi yang dalam suatu
    tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
    Indonesia.
b. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
c. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
    Ayat 4 pada pasal yang sama mengatur tentang syarat subyek pajak dikatakan
sebagai subyek pajak luar negeri yaitu:
a. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
    tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang tidak
    Pajak Penghasilan Dalam Sebuah Kebijaksanaan (Mangoting)
    didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha
    atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
b. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
    tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak
    didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau
    memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau
    melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap.
Pembagian subyek pajak menjadi dalam negeri dan luar negeri sebenarnya dikaitkan
dengan pemberian perlakuan pajak yang berbeda untuk masing-masing subyek pajak
itu, ketika nantinya sudah memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak. Perbedaan
perlakuan perpajakan untuk kedua Wajib Pajak tersebut adalah sebagai berikut.
  • Perbedaan Perlakuan Perpajakan Wajib Pajak Dalam Negeri dan Wajib Paja Luar Negeri
Wajib Pajak Dalam Negeri
  1. Dikenakan terhadap semua penghasilan baik dari Indonesia maupun dari luar 
  2. Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan netto dengan tarif umum pasal 17
  3. Wajib Pajak menyampaikan SPT sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam satu tahun pajak
Wajib Pajak Luar Negeri
  1. Dikenakan hanya terhadap semua penghasilan yang bersumber dari Indonesia
  2. Dikenakan pajak berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif sepadan
  3. Tidak wajib SPT karena pengenaan pajak bersifat final.
Ayat 5 merupakan ayat terakhir dari pasal yang mengatur tentang siapa-siapa saja
yang menjadi subyek pajak menurut sistem perpajakan di Indonesia. Ayat ini
mengatur tentang Bentuk Usaha Tetap (BUT). Yang dimaksud dengan Bentuk Usaha
Tetap adalah :
a. bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
    Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12
    bulan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
b. Untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat
     berupa :
1. tempat kedudukan manajemen
2. cabang perusahaan
3. kantor perwakilan
4. gedung kantor
5. pabrik
6. bengkel
7. pertambangan dan penggalian sumber daya alam, wilayah kerja pengeboran
    untuk eksplorasi pertambangan
8. perikanan, perternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan
9. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan
10. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang
      dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan
11. orang atau badan yang bertindak selaku agen dari perusahaan asuransi yang
      tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima
      premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia.
  • Penghasilan yang menjadi obyek pajak menurut pasal 4 ayat 1 adalah:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
    atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
    gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
    ditentukan lain dalam undang-undang.
b. hadiah dari undian atau kegiatan, dan penghargaan
c. laba usaha
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
    1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
        badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
    2. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena
        pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
    3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
        pemecahan, atau pengambilalihan usaha
    4. keuntungan karena penglihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,
        kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
        satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
        atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri
        Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
        kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
   utang
g. deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
    perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
    koperasi
h. royalty
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
    yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah
l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
n. premi asuransi
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
    dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
    pajak.
  • Penghasilan yang dikenakan pajak seperti yang tersebut di atas dikelompokan dalam empat bagian besar yaitu:
1. Penghasilan dari menjalankan perusahaan (enterprise) atau penghasilan dari
    melakukan kegiatan usaha (business income)
2. Penghasilan dari kegiatan melakukan pekerjaan (employment income)
3. Penghasilan dari modal yang berupa harta maupun tak gerak. Misalnya bunga,
    deviden, sewa dan royalti
4. Penghasilan lain-lain. Misalnya pembebasan utang, hadiah atau undian.
Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1983, penghasilan yang dikenakan pajak
berdasarkan asas sumber atau source of income concept, yang bersumber dari empat
kelompok sumber penghasilan yaitu : dari tenaga, usaha, pembayaran berkala dan dari
harta bergerak. Jika ada penghasilan lain yang tidak termasuk dalam kelompok
sumber penghasilan yang tersebut di atas, tidak akan dikenakan pajak. Misalnya, jika
seorang Wajib Pajak memperoleh hadiah undian, atas penghasilan tersebut tidak
dikenakan pajak karena tidak termasuk dalam empat kelompok sumber penghasilan
yang dikenakan pajak. Akhirnya definisi penghasilan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 yang menggunakan source of income concept diganti menjadi
accretion concept yang digunakan sejak Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, dimana
setiap tambahan kemampuan ekonomis dianggap sebagai penghasilan.
Sistem perpajakan di Indonesia menganut global taxation. Global taxation adalah
sistem pengenaan pajak atas penghasilan dengan cara menjumlahkan semua jenis
tambahan kemampuan ekonomis dimanapun didapat, di Indonesia dan di luar negeri,
lalu atas seluruh penghasilan tersebut diterapkan suatu struktur tarif progresif yang
berlaku atas semua Wajib Pajak. (R Mansury 1996:82). Global taxation system pada
dasarnya memenuhi konsep keadilan dalam perpajakan, yaitu keadilan horizontal dan
keadilan vertikal seperti yang telah dijelaskan di atas.
Selain Global taxation system, sistem perpajakan di Indonesia juga menganut global
schedular taxation dimana menurut sistem ini ada penghasilan-penghasilan tertentu
dikenakan tarif sendiri-sendiri berdasarkan aturan yang berlaku. Misalnya pajak atas
pendapatan bunga deposito sebesar 20% yang sifatnya final. Sebenarnya sistem ini
merupakan ketidakadilan dalam perpajakan karena seharusnya atas semua
penghasilan yand diperoleh dijumlahkan dan diterapkan satu tarif saja yaitu tarif
progresif. Tetapi berdasarkan global schedular taxation, ada penghasilan-penghasilan
tertentu yang tidak dijumlahkan dan pengenaan pajaknya menggunakan tarif khusus.
Tujuan dari global schedular taxation sebenarnya adalah untuk mempercepat
masuknya penerimaan negara dan penyederhanaan administrasi perpajakan. Karena
sifatnya yang final atau langsung di potong pajak setiap saat penghasilan tersebut
timbul. Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 mengatur tentang obyek
pajak yang mendapat perlakuan khusus, selengkapnya adalah sebagai berikut : Atas
penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari
transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan
harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaa


 2.4 Apa Saja yang Merupakan Obyek Pajak
       Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 mengatur bahwa yang menjadi
obyek pajak adalah yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia
yang dapat dikonsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Adapun unsur-unsur yang
timbul dari definisi penghasilan yang menjadi obyek pajak ini adalah:
1. Tambahan kemampuan ekonomis. Unsur ini memenuhi konsep akresi (accretion
concept) atau konsep pertambahan, dimana yang termasuk penghasilan adalah
setiap tambahan kemampuan untuk menguasai barang dan jasa yang didapat oleh
Wajib Pajak dalam tahun pajak yang berkenaan. Haig Concept said that income is
“the increase or accretion in one’s power to satisfy his wants in a given period in so
far as that power consists of (a) money itself, or, (b) anything susceptible of
valuation in terms of money” (Goode 1964:18)
2. Yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak. Unsur ini memenuhi konsep realisai
(realization concept), dimana tambahan kemampuan ekonomis dapat dikatakan
sebagai suatu penghasilan apabila sudah direalisasi atau secara akuntansi
penghasilan terebut sudah dapat dibukukan, baik dengan menggunakan prinsip
cash basis maupun accrual basis.
3. Baik yang berasal dari Indonesia maupun yang berasal dari luar Indonesia. Unsur
ini memenuhi konsep world-wide-income, dimana penghasilan yang dikenakan
pajak meliputi penghasilan manapun juga, baik yang berasal dari Indonesia
maupun dari luar Indonesia.
4. Yang dipakai untuk konsumsi maupun yang dipakai untuk membeli harta. Bahwa
penggunaan penghasilan apakah yang akan dikonsumsi atau ditabung, semuanya
dikenakan pajak.
5. Dengan nama dan dalam bentuk apapun. Unsur ini memenuhi konsep bahwa
hakekat ekonomis adalah lebih penting daripada bentuk formal yang dipakai
(subtance-over-form-principle) dimana yang menentukan apakah penghasilan itu
merupakan obyek pajak bukan pada bentuk yuridis, melainkan hakekat ekonomis.
Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 3, No. 2, November 2001: 142 - 156
Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi - Universitas Kristen Petra
Http://Puslit.Petra.Ac.Id/Journals/Accounting/
150
Misalnya, PT A bermaksud menjual mobil yang merupakan salah satu aktiva tetap
milik perusahaan. Mobil tersebut sedianya akan dibeli oleh Amir yang merupakan
pemilik 30% saham pada PT A. Harga yang disepakati adalah Rp 65 juta, menurut
informasi harga pasar mobil tersebut adalah Rp 70 juta. Rp 5 juta yang merupakan
selisih antara harga pasar dan harga jual merupakan penghasilan, meskipun
sebenarnya penghasilan tersebut secara yuridis tidak ada karena tidak diperoleh
dalam bentuk uang, tetapi karena dijual dibawah harga pasar maka bagi Amir
selisih ini merupakan penghasilan dilihat secara ekonomis, meskipun merupakan
penghasilan semu.
Penghasilan yang menjadi obyek pajak menurut pasal 4 ayat 1 adalah:
a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,
gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang.
b. hadiah dari undian atau kegiatan, dan penghargaan
c. laba usaha
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
2. keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena
pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha
4. keuntungan karena penglihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang
g. deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi
h. royalty
i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala
k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah
l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva
n. premi asuransi
o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri
dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak.

Penghasilan yang dikenakan pajak seperti yang tersebut di atas dikelompokan
dalam empat bagian besar yaitu:
1. Penghasilan dari menjalankan perusahaan (enterprise) atau penghasilan dari
melakukan kegiatan usaha (business income)
2. Penghasilan dari kegiatan melakukan pekerjaan (employment income)
3. Penghasilan dari modal yang berupa harta maupun tak gerak. Misalnya bunga,
deviden, sewa dan royalti
4. Penghasilan lain-lain. Misalnya pembebasan utang, hadiah atau undian.
Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1983, penghasilan yang dikenakan pajak
berdasarkan asas sumber atau source of income concept, yang bersumber dari empat
kelompok sumber penghasilan yaitu : dari tenaga, usaha, pembayaran berkala dan dari
harta bergerak. Jika ada penghasilan lain yang tidak termasuk dalam kelompok
sumber penghasilan yang tersebut di atas, tidak akan dikenakan pajak. Misalnya, jika
seorang Wajib Pajak memperoleh hadiah undian, atas penghasilan tersebut tidak
dikenakan pajak karena tidak termasuk dalam empat kelompok sumber penghasilan
yang dikenakan pajak. Akhirnya definisi penghasilan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1983 yang menggunakan source of income concept diganti menjadi
accretion concept yang digunakan sejak Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, dimana
setiap tambahan kemampuan ekonomis dianggap sebagai penghasilan.
Sistem perpajakan di Indonesia menganut global taxation. Global taxation adalah
sistem pengenaan pajak atas penghasilan dengan cara menjumlahkan semua jenis
tambahan kemampuan ekonomis dimanapun didapat, di Indonesia dan di luar negeri,
lalu atas seluruh penghasilan tersebut diterapkan suatu struktur tarif progresif yang
berlaku atas semua Wajib Pajak. (R Mansury 1996:82). Global taxation system pada
dasarnya memenuhi konsep keadilan dalam perpajakan, yaitu keadilan horizontal dan
keadilan vertikal seperti yang telah dijelaskan di atas.
Selain Global taxation system, sistem perpajakan di Indonesia juga menganut global
schedular taxation dimana menurut sistem ini ada penghasilan-penghasilan tertentu
dikenakan tarif sendiri-sendiri berdasarkan aturan yang berlaku. Misalnya pajak atas
pendapatan bunga deposito sebesar 20% yang sifatnya final. Sebenarnya sistem ini
merupakan ketidakadilan dalam perpajakan karenaseharusnya atas semua
penghasilan yand diperoleh dijumlahkan dan diterapkan satu tarif saja yaitu tarif
progresif. Tetapi berdasarkan global schedular taxation, ada penghasilan-penghasilan
tertentu yang tidak dijumlahkan dan pengenaan pajaknya menggunakan tarif khusus.
Tujuan dari global schedular taxation sebenarnya adalah untuk mempercepat
masuknya penerimaan negara dan penyederhanaan administrasi perpajakan. Karena
sifatnya yang final atau langsung di potong pajak setiap saat penghasilan tersebut
timbul. Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 mengatur tentang obyek
pajak yang mendapat perlakuan khusus, selengkapnya adalah sebagai berikut : Atas
penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari
transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan
harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan
pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah.

2.4 Tarif Pajak Penghasilan

Lapisan Penghasilan Kena Pajak                                                     Tarif PPh
§ Sampai dengan Rp 25.000.000,00                                                    5%
§ Diatas Rp 25.000.000,00 s.d Rp 50.000.000,00                              10%
§ Diatas Rp 50.000.000,00 s.d Rp 100.000.000,00                            15%
§ Diatas Rp 100.000.000,00 s.d Rp 200.000.000,00                           25%
§ Diatas Rp 200.000.000,00                                                                35%

2.5 Prosedur Pajak
      Prosedur pajak merupakan tata cara atau mekanisme atau urut-urutan yang
berhubungan dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan. Setiap Wajib Pajak dan aparat
pajak itu sendiri harus mengerti dengan baik bagaimana prosedur perpajakan yang
berlaku dalam sistem perpajakan di Indonesia. Dalam pajak dikenal dengan dua
macam ketentuan hukum yaitu hukum materiil dan hukum formal. Hukum pajak
materiil memuat norma-norma yang menerapkan keadaan, perbuatan dan peristiwaperistiwa
hukum yang harus dikenakan pajak, yang meliputi siapa-siapa yang harus
dikenakan pajak, apa yang menyebabkan orang harus dikenakan pajak, berapa besar
pajaknya. Sedangkan hukum pajak formal adalah peraturan-peraturan mengenai tata
cara menjelmakan hukum materiil menjadi nyata. (R Mansury, 1996:42). Hukum
pajak formal pada intinya merupakan kumpulan prosedur-prosedur dalam system
perpajakan Indonesia. Hukum pajak formal ini diwakili dalam Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sedangkan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan, Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas
Barang Mewah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan
Bangunan, merupakan beberapa contoh hukum pajak materiil. Hukum pajak formal
dan hukum pajak materiil harus bekerja secara bersama-sama dalam mendukung
sistem perpajakan Indonesia dengan tujuan utama keberadaan pajak adalah bersifat
budgeter. Cara kerja hukum pajak formal dan hukum pajak materiil secara sederhana
adalah sebagai berikut. Amir adalah seorang wiraswasta, sebagai seorang warga negara
yang baik, Amir menyadari bahwa ada suatu kewajiban untuk melakukan pembayaran
pajak. Secara formal Amir terlebih dahulu harus mendaftarkan dirinya untuk
mendapatkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sesuai dengan ketentuan-ketentuan
dalam hukum formal. Dan berapa jumlah Pajak yang harus dibayar oleh Amir diatur
dalam ketentuan hukum pajak materiil.

Unsur-unsur dari prosedur yang diatur dalam ketentuan hukum pajak formal yaitu:
1. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
    Pajak Penghasilan Dalam Sebuah Kebijaksanaan (Mangoting)
2. Pembayaran pajak selama tahun berjalan
    § melalui pemotongan oleh pihak lain
    § melalui pemungutan oleh pihak lain
    § melalui pelunasan oleh Wajib Pajak sendiri
3. Surat Pemberitahuan (SPT)
4. Pembayaran kekurangan pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan)
5. Penagihan dan pembayaran berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan
    Pajak Kurang Bayar Tambahan
6. Penelitian, Pemerikasaan dan Penyidikan
7. Rahasia Bank
8. Kelebihan pembayaran pajak dan perhitungan
9. Daluarsa penagihan pajak
10. Sanksi Administrasi
11. Sanksi-sanksi pidana dan tindak pidana fiscal
12. Penyelesaian sengketa pajak .
      § Keberatan
      § Banding
      § Kasasi
13. Penyelenggaraan pembukuan Wajib Pajak
14. Ketentuan-ketentuan formal khusus
      § Wakil wajib pajak
      § Kuasa Wajib Pajak
15. Rahasia jabatan petugas pajak.

3. KESIMPULAN
    Pemerintah memang menarik dana dari masyarakat dalam bentuk pembayaran
pajak yang penggunaannya dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk
penyediaan fasilitas umum, meskipun masyarakat sendiri merasakan bahwa
penyediaan fasilitas umum itu sendiri tidaklah setara dengan dana yang sudah ditarik
pemerintah dari masyarakat. Tetapi terlepas dari itu semua, pemerintah tetap
berupaya untuk mewujudkan keadilan dalam pemungutan pajak. Pemungutan pajak di
Indonesia menganut prinsip keadilan horizontal dan keadilan vertikal. Keadilan
horizontal terpenuhi apabila suatu pajaknya adalah sama atas semua Wajib Pajak yang
mendapatkan penghasilan yang sama dengan jumlah tanggungan yang sama tanpa
membedakan jenis penghasilan atau sumber penghasilan atau biasa disebut equal
treatment for the equals. Sedangkan pemungutan pajak dikatakan adil secara vertikal
apabila orang-orang dengan tambahan kemampuan ekonomis yang berbeda dikenakan
Pajak Penghasilan yang berbeda setara dengan perbedaannya atau biasa disebut
dengan unequal treatment for the.
Untuk mewujudkan keinginan pemerintah menarik dana dari rumah tangga
masyarakat ke rumah tangga pemerintah, ada beberapa kebijaksanaan-kebijaksanaan
dalam Pajak Penghasilan yang diharapkan dapat mendukung tujuan pemerintah
tersebut. Kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut adalah: jenis pajak yang akan
dipungut, siapa yang menjadi subyek pajak, apa yang menjadi obyek pajak dan bagaimana prosedur pajak untuk mendukung pemasukan dana yang berasal dari pajak
tersebut.











DAFTAR PUSTAKA
Tjahjono, Achmad, Muhammad F. Husain (1997), Perpajakan, Edisi Pertama,
Yokyakarta : UPP AMP YKPN.
Departemen Keuangan Direktorat Jenderal Pajak (2000), Undang-Undang Perpajakan
Indonesia Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan, Jakarta:
publishing Dept., Formasi.
Gunadi (2001), Panduan Komprehensif Pajak Penghasilan Sesuai Dengan UU No. 17
Tahun 2000, Jakarta: PT Multi Utama Consultindo.
Hutagaol, Jhon (2000), Pemahaman Praktis Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Indonesia Dengan Negara-Negara Di Kawasan Eropa, Jakarta: Penerbit Salemba
Empat.
R Mansury (1994), Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia: Uraian
Umum dan Tentang Siapa-Siapa Yang Dituju Untuk Dikenakan Pajak, Jilid
Satu, Jakarta: PT Bina Rena Pariwara.
R Mansury (1996), Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia: Tentang Apa
Yang Menyebabkan Subyek Pajak Dikenakan Pajak, Jilid Dua, Jakarta : PT Bina
Rena Pariwara.
R Mansury (1996), Panduan Konsep Utama Pajak Penghasilan Indonesia: Perubahan
Undang-Undang Dalam Tahun 1994, Jilid Tiga, Jakarta: PT Bina Rena
Pariwara.
R Mansury (1996), Pajak Penghasilan Lanjutan, Jakarta: PT Bina Rena Pariwara.
Goode Richard (1964), The Individual Income Tax, Washington DC: Princeton
University Press.